Mengajar Pada Dasarnya Juga Belajar

kelas fotografi
Dokumen : Pribadi (Ipeh Alena)


Selama beberapa waktu selanjutnya, setiap minggu, saya selalu merasa rindu untuk bertemu dengan anak-anak murid di sekolah. Serasa ada koneksi yang kuat hingga membuat saya tak sabar ingin segera mendengarkan langsung keceriaan mereka di kelas.

Meski hari-hari pertama terasa cukup berat. Setelahnya, saya sedikit memahami kalau anak-anak memang harus langsung praktek setelah saya berikan materi sedikit. Apalah fotografi kalau prakteknya kurang. Bahkan, cenderung materinya tidak begitu banyak. Cuma, mereka tetap senang dan semangat.


Sambutan Setiap Siang Yang Sumringah


Meskipun saya bukan guru yang mampu mengajar dengan baik. Namun, setiap kali saya datang dan masuk ke kelas. Anak-anak sudah ribut menanyakan hari ini mereka diberikan tema apa?

Padahal, saat itu bel tanda masuk pun belum berbunyi. Tapi, tidak seperti kelas lain, siswa dan siswi kelas fotografi justru sudah duduk manis di dalam kelas. Beberapa memang terkadang masih ada yang berada di luar kelas. Biasanya, karena mereka masih harus menyerahkan tugas tambahan dari guru mereka.

Sambutan yang tulus ini, sering kali membuat saya rindu sampai saat ini. Ketika melihat mata mereka berbinar saat saya masuk ke kelas. Kemudian, mereka tak sabar ingin segera menggunakan kamera mereka untuk merekam objek sesuai tema pada hari itu.

Antusias yang membuat saya bersyukur dan belajar untuk menghargai usaha saya pada hari itu. Betul, memang masih banyak yang harus saya perbaiki, tapi bukan berarti terus menerus membuat saya tak menghargai usaha saya setiap harinya.



Praktek Memotret Membuat Mereka Terbiasa



Bisa karena terbiasa. Bukan pepatah yang omong kosong. Karena, faktanya memang demikian. Ketika mereka dibiasakan dan dilatih untuk mengabadikan momen yang berlangsung di sekolah. Membuat mereka akhirnya sedikit memahami dasar-dasar fotografi.

Seperti memotret tanpa berbayang, memotret di bawah cahaya yang alami yaitu dengan cahaya matahari. Hingga memotret sesuai tema yang saya berikan.

Misalnya, ketika saya meminta mereka memotret kegiatan sekolah. Ada beberapa yang memotret guru mereka, teman mereka bahkan ada yang memotret kegiatan belajar yang berlangsung. Sampai mengabadikan momen teman-teman mereka yang sedang olahraga.

Semua anak-anak semangat untuk eksplorasi tanpa terkecuali. Bahkan, meski saya meminta mereka untuk mengulang-ulang hasil jepretan hingga sesuai dengan ekspektasi saya. Mereka tak pernah merasa keberatan.

Walaupun terkadang ada ekspresi memelas ketika ada yang malas untuk mengerjakan tugas. Kemudian, saya berikan tugas lebih banyak dari teman lainnya. Namun, wajah memelas itu hanya sebentar. Karena, setelah itu, anak-anak ini justru keasyikan bermain-main dengan kamera mereka.



Anak-anak Dan Kamera



Antara anak-anak kelas 3, 4 dan kelas 5 dengan kamera teknologi tinggi. Terjalin hubungan yang cukup berbahaya. Bukan berbahaya yang aneh-aneh. Meski bagi saya, tetap saja aneh dan mendebarkan.

Bayangkan saja, ketika ada anak yang membawa kamera DSLR. Kemudian, menjadi tugas saya untuk mengedukasi mereka cara merawat dan memperlakukan kamera mereka. Tapi, sayangnya, tingkah mereka yang masih belum bisa mengontrol dengan sempurna saat kegiatan memotret. Membuat saya mengelus dada.

Ada yang dengan santainya mengayun-ayunkan kamera DSLR sambil bercanda dengan temannya. Ada pula yang menjadikan kamera mereka topangan saat diletakkan di atas meja. Hingga tidak sedikit yang akhirnya mengalami kerusakan pada lensanya.

Sungguh, jangan dibayangkan mengajarkan fotografi pada anak-anak sekolah dasar itu adalah hal yang keren dan hebat. Karena, mereka masih belum bisa memperlakukan kamera mahal dengan sangat hati-hati seperti kita orang dewasa memperlakukan kamera.

Beberapa yang membawa kamera digital pun sering meletakkan kamera mereka di sembarang tempat. Tugas saya pula yang harus menyimpan hingga terkadang mereka lupa sampai bel sekolah berbunyi, kemudian mereka melenggang begitu saja tanpa ingat di mana meletakkan kamera.

Enggak jarang saya harus menunggu mereka kembali lagi ke kelas untuk membawa pulang kameranya. Bahkan, sering juga saya menunggu di sekolah sampai sekolah sudah sepi.


Satu Kamera Untuk Bersama



Kelas fotografi ini juga enggak memaksa. Dalam artian, jika ada beberapa anak yang memang enggak punya kamera, baik itu kamera digital maupun kamera DSLR. Solusi yang sudah saya berikan saat pertama kali mengajar adalah meminjam kamera teman. Dengan cara membentuk beberapa kelompok anak yang isinya campur.

Dari kegiatan memotret bersama ini, memang sering membuat saya pusing. Soalnya, sekali laporan terkadang bisa sampai banyak sekali foto. Sering juga anak-anak ini lupa, siapa yang memotret objek tersebut, dia atau temannya.

Penilaian untuk karya bersama-sama dalam satu kamera pun memang memakan waktu yang cukup lama. Tapi, asiknya, mereka justru bisa saling berbagi dan belajar dengan teman lainnya. Hasil jepretan anak yang satu dengan yang lainnya pun bisa terlihat bedanya. Dari sinilah saya mulai belajar untuk menggali dan mencari cara bagaimana mendorong mereka yang fotonya masih harus banyak diperbaiki bisa teratasi.



Kamera Adalah Cara Mereka Memandang Dunia



Ada satu hal yang membuat saya takjub. Beberapa dari mereka, bahkan mampu merekam momen yang menggambarkan kegiatan dan suasana di sekolah dengan baik. Padahal, beberapa dari mereka justru menggunakan kamera digital yang biasa.

Fotografi memang termasuk ke dalam seni. Tidak ada salah atau benar dalam dunia fotografi. Yang ada adalah bagaimana kita merasakan sesuatu dalam sebuah foto. Itu yang pernah saya pelajari dalam workshop fotografi bersama Kelas Blogger yang diajari oleh kang Dudi Iskandar.

Melalui seni ini saya belajar melihat dunia dari kaca mata anak-anak. Melihat betapa mudahnya mereka menerobos batas yang berada di luar zona nyaman mereka. Tanpa berpikir dua kali, tanpa berpikir akan mendapat nilai berapa dan mendapat komentar seperti apa.

Dari usaha mereka ini justru memang saya banyak belajar. Banyak sekali pembelajaran yang saya dapat dari mengajar anak-anak sekolah dasar ini. Salah satunya dengan terus menggali kemampuan tanpa perlu memikirkan segala hal yang membuat takut.

Saking kreatifnya, saya bahkan masih ingat ada salah satu anak yang merupakan anak dari seorang blogger senior. Namanya Paskal, yang mengatur beberapa perlengkapan di sekolah. Kemudian, ia memotretnya dari lantai dua. Saya bahkan tak pernah berpikir akan membawa imajinasinya sampai sana. Dan ini membuat saya merasa takjub.



Eksplorasi Jenis Kamera Tanpa Batas



Dari kegiatan belajar mengajar fotografi ini. Saya juga mendapat kesempatan untuk mencicipi dan belajar fungsi-fungsi dari kamera dari berbagai merk. Meski tampaknya sama, tapi beda merk beda pula pengaturan menunya.

Walaupun tetap sama menu seperti pengaturan ISO, Shutter speed sampai Exposure. Hanya beda lokasi pengaturan dan terkadang beda penamaan atau tanda yang muncul.

Jadi teringat waktu pertama diminta untuk menghidupkan tombol flash otomatis pada kamera Lumix. Saya yang belum pernah mengetahui kamera ini justru merasa tertantang hingga asik sendiri mengutak-atik kamera milik anak didik.



Saya mengajar, saya pula yang banyak belajar. Demikianlah pada akhirnya yang banyak saya rasakan selama dua tahun mengajar di kelas fotografi. Ada banyak pengalaman yang selalu tak pernah bisa saya lupakan.


Kalau pembaca, pengalaman apa yang berharga banget selama menjalani profesi yang dipilih? 

Postingan Terkait